Kamis, 30 Juni 2011

Akal dan Wahyu versi Ubed

BAB I
PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
Tuhan Sang Maha Pencipta telah menciptakan segala apa yang dikehendaki-Nya. Dia telah menciptakan berjuta-juta makhluq dari yang besar hingga yang paling kecil, dari yang dapat diindra sampai yang tidak dapat diindra, dari yang tidak mempunyai akal sampai yang berakal bahkan sampai berperadaban dan berbudaya berkat bimbingan wahyu dari-Nya.
Adapun mengenai pembahasan tentang akal dan wahyu, mungkin akan terdengar menjenuhkan bagi kita. Sebab jika dilihat sepintas pembahasan tersebut merupakan hal yang kuno, ketinggalan jaman, dan sudah tidak menarik perhatian lagi untuk dijadikan sebuah pembahasan keilmuan. Namun, jikalau kita coba untuk menelaahnya lebih dalam lagi, sebenarnya masalah akal dan wahyu adalah sebuah topic yang bagus yang tak kalah dari sekedar berita politik yang tak berujung. Keduanya merupakan dua dari tiga bagian inti dari eksistensi manusia.[1] Jikalau tiada akal, maka manusia lebih pantas dikatakan sebagai hewan pemakan segalanya yang tak beraturan. Sebab, yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah dari akalnya. Dari akal manusia mampu meningkatkan daya tanggapnya kepada hal-hal yang bisa diindra.[2]
Namun kemampuan akal manusia untuk memahami dan mengetahui adalah terbatas. Lagi pula pemikiran manusia sering keliru, sebab kadan-kadang timbul kondisi-kondisi tertentu yang menghalangi manusia untuk bisa berpikir secara benar dan bahkan melenceng jauh. Sehingga akan menimbulkan pada laten kapitalis liberal yang akan melebihi keserakahan hewani. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan sesuatu yang bisa memberinya pengarahan, petunjuk, dan ajaran. Dan karna itu, Allah memberikan wahyu kepada manusia untuk dijadikan sebagai landasan dalam menggunakan akalnya, yang pada akhirnya akan berujung kebenaran haqiqi yang menjadi tujuan utama manusia.
B. rumusan masalah
1. Apakah akal itu?
2. Apakah wahyu itu?
3. bagaimanakah kontribusi keduanya dalam mencapai tauhidullah?












BAB II
PEMBAHASAN

Persoalan akal dan wahyu telah lama menjadi wacana dan perdebatan di kalangan intelektual muslim sejak abad ke-3 Hijriah. Bahkan sampai sekarang persoalan ini masih banyak diperbincangkan.[3] Adapun pengertian dari masing-masing akal dan wahyu tersebut adalah sebagai berikut. Namun, sebelum masuk pada pembahasan, ada baiknya jika kita membaca sepenggal kisah antara ibu dan anak dibawah ini.[4]

“ Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang, nak”
“Bila Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Dia membiarkan saja begitu banyak penderitaan dan kekerasan di muka ini?”
Aku dan Ibuku berkali-kali berdebat seperti itu sebelumnya,dan sekarang rasanya kami lebih sering lagi memperdebatkannya sehingga keluargaku tahu bahwa aku telah menjadi seorang atheis.
“ada beberapa hal yang tak dapat kita pahami dengan pikiran kita yang terbatas sekali, nak”
“Aku pun tahu bu! Aku telah seribu kali mendengar ucapan itu.” kataku pada ibuku dengan jengkel. “Setiap kali pertanyaan kepada tuhan dipertanyakan dengan alas an yang masuk akal dan kuat, maka jawaban yang muncul adalah bahwa akal kita sangat terbatas untuk memahami kebijaksanaan-Nya. Satu hal yang benar-benar menggangguku adalah bahwa orang-orang terus mencari segala macam argument rasional untuk menyanggah kepercayaan akan adanya Tuhan, tetapi satu-satunya jawaban yang mereka dapat adalah bahwa otak kita terlalu kerdil untuk memikirkan hal tersebut, dan anehnya mereka kemudian menrima argument balik tersebut! Tidakkah ibu berfikir bahwa jawaban inilah yang membuat mereka menjadi sangat ragu?” Ungkapku kemudian.
“Semua orang pernah mengalami keraguan dalam hidup mereka. Aku pun demikian ketika seusiamu.” Balas Ibuku.
“Lantas mengapa ibu masih percaya pada Tuhan? Bila merasa ragu dengan pilot pesawat yang akan kita tumpangi, kita tak akan jadi naik pesawat itu Bu. Bila ragu dengan sebuah barang di toko, kita pun tak kan jadi membelinya. Dan prihal agama, sebenarnya kita memiliki banyak alasan untuk mempertanyakannya. Tetapi orang-orang tetap percaya padanya! Apakah mereka mencuci otak mereka agar percaya pada agama? Atau sekadar membentengi diri dari hukuman abadidengan tunduk buta pada sesuatu yang tak masuk akal?”
“Iman adalah karunia tuhan, nak. Setelah nanti kamu mengalaminya sendiri, kamu pun tak kan meragukannya lagi.”
“Tapi mengapa Dia tidak mengaruniakannya kepada semua orang? Dan mengapa Dia tak segera memberikannya padaku?”
“Kau harus berusaha menemukannya sendiri, Anakku”
“Aku tak mengerti! Seolah-olah Ibu mengatakan bahwa agar aku tak merasa ragu. Aku harus membuang dorongan-dorongan keingin-tahuanku yang muncul dengan sendirinya, dan memaksakan diri untuk percaya pada agama. Bukankah ini semacam swacuci otak!?”
“Tak perlu kau khawatir, anakku. Kau akan menemukan Tuhan pada suatu hari nanti”
“Mengapa Ibu begitu yakin?”
“Sebab dulu nenekmu pun berkata demikian padaku” Jawab sang Ibu dengan senyum yang mantap.

            Ketika para malaikat keberatan dengan rencana Tuhan untuk menciptakan manusia, hal pertama yang tuhan lakukan untuk memperlihatkan kelemahan mereka adalah dengan menunjukkan kecerdasan manusia. Sebagaimana tertera dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 33.
قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ
 Pada intinya, al-Qur’an menyatakan bahwa kelebihan manusia yang berupa akal ini lebih dihargai Tuhan dari pada kekebalan malaikat terhadap dosa.
Theologi (baca:Tauhid) sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhannya.[5]

A.     Pengertian Akal
Secara etimologi akal merupakan kata serapan yang didapatkan dari bahasa ‘Arab ‘Aqola ( عـقـل ) yang berarti memahami atau mengerti sesuatu[6]. Persamaan dari kata ‘aqola adalah faqiha yang berarti sama. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki oleh manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.[7]
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Tapi ini timbul pertanyaan apakah pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala? Dalam al-Qur’an sebagai dijelaskan bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Sebagaimana ayat berikut :[8]
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Artinya : maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.(Q.S. al-Hajj : 46 )
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?
Adapun definisi lain mengenai akal dalam al-Qur’an disebutkan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Artinya : maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. al-Hajj : 46)
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya : Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(Q.S.al-A’raf : 179)
            Dari kedua ayat tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa akal adalah pemberian Allah kepada manusia yang mempunyai keistimewaan untuk menemukan, memfikirkan, dan memahami segala sesuatu yang ada di dunia ini. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat orang lain dan akal lah yang menjadi sumber keyakinan manusia kepada tuhannya.
            Memang banyak sekali pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.  
B.      Pengertian Wahyu
Secara etimologi,sebagaimana akal wahyu pun merupakan kata serapan yang didapatkan dari bahasa ‘Arab waha ( وحي ) yang berarti Mengajarkan atau menunjukkan sesuatu.[9] Persamaan dari kata waha adalah alhama yang berarti sama. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada para Nabi-Nya.[10] Dan ada juga yang mendefinisikan bahwa Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.

      Dalam al-Qur’an disebutkan :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya : Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab: "Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)".
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Artinya : Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Artinya : maka Allah mengajarkan  kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
            Dengan demikian, dapat kita ambil kesimpulan bahwa wahyu adalah ilham, bisikan, dan ajaran dari yang lebih tau kepada yang belum mengetahui, baik yang bersifat positif maupun negative. Ataupun merupakan sebuah petunjuk dari kesesatan atau cahaya dalam kegelapan. Dan dalam hal ini adalah wahyu Allah kepada hambanya.
            Sebagai perumpamaan, jikalau akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, maka wahyu adalah pondasi yang memperkokoh tonggak tersebut.
            Adapun mengenai bagaimana sistem wahyu itu muncul, maka secara gamblang diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Syura ayat 51 sebagai berikut :
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Artinya : Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
            Yakni, bahwa ada tiga cara, yaitu :
1.Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham
2.Dari belakang tabir sebagai
mana yang terjadi dengan Nabi Musa
3.Melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu, dalam Islam adanya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah pula suatu hal yang tidak dapat diterima akal. Maka yang diwahyukan dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an.
C.      Hubungan antara Akal dan Wahyu
Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.

D.     Kontribusi Materi dalam mencapai Tauhid Billah
Setelah mempelajari tentang akal dan wahyu tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhannya, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Setelah itu, akal pun bekerja. Berpikir dan mencoba menemukan apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam memenuhi pada apa yang telah diwahyukan tersebut. Dan ketika dua urgen penting manusia tersebut bekerja dengan seimbang, maka akan menghasilkan suatu kebenaran, sehingga nantinya akan berimplikasi pada muara haqiqi tauhid billah SWT. atau mengesakan-Nya.  









BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Tauhid sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhannya.
Dan yang dimaksud dengan akal adalah pemberian Allah kepada manusia yang mempunyai keistimewaan untuk menemukan, memfikirkan, dan memahami segala sesuatu yang ada di dunia ini. Sedangkan wahyu adalah ilham, bisikan, dan ajaran dari yang lebih tau kepada yang belum mengetahui, baik yang bersifat positif maupun negative.
B. Saran
Setelah memahami apa arti dari akal dan wahyu di atas,  hendaknya kita dapat menerapkan akal dan wahyu tersebut dalam kehidupan kita secara seimbang dan saling mengisi antara keduanya, sebab kedua hal tersebut merupakan bagian inti manusia. Dan dengan akal dan wahyu tersebut dapat menemukan Tuhan kita dan  kita tidak akan terjerumus kepada jalan yang sesat dan berbalik dari tujuan utama adanya akal dan wahyu. Amin


[1] Prof.DR.Ahmad Tafsir Filsafat Umum (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1990)hlm 47
[2] Drs. Moch.Ishom Achmadi ZE Ya Ayyatuha An Nafsu Al Muthmainnah (Yogyakarta:SJpress,2009) hlm 27
[3] Drs. Musthofa,dkk Tauhid (Yogyakarta:Pokja UIN,2005)hlm 57
[4] Jeffrey Lang Aku Beriman, maka Aku Bertanya(Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta,2006) hlm 95
[5] Harun Nasution Teologi Islam (Jakarta:UI-press,1986)hlm 81
[6] Prof.DR.Mahmud Yunus Kamus Arab-Indonesia (Jakarta:PT.Hidakarya Agung,1985)hlm 275
[7] Akal dan Wahyu.blogspot.com oleh Novairi HuSaINi Al-MunDzirI  up date 24-03-2011
[8] Paper-Q.blogspot.com Oleh Ibnu up date 24-03-2011
[9] Prof.DR.Mahmud Yunus Kamus Arab-Indonesia (Jakarta:PT.Hidakarya Agung,1985)hlm 494
[10] Paper-Q.blogspot.com Oleh Ibnu up date 24-03-2011

Intelegensi versi ubed

BAB I
PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. seperti yang dikatakan Van den Daele[1] bahwa perkembangan adalah perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.
Perkembangan juga diartikan sebagai ”perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”. Perkembangan dapat diartikan menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis progresif, dan berkesinambungan”. Dan semua para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, namun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki.[2]
Hubungannya dengan inteligensi bahwa inteligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatui fiksi ilmiah untuk mendeskripsiskan prilaku induvidu yang berkaitan dengan kemampuan intelektualnya. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam.
Dibawah ini terdapat sebuah gambar berupa “taman bingung” dengan tanda X yang menunjukkan dimana kita akan memulai. Taruh ujung pensil pada tanda X tersebut dan cobalah secepat-cepatnya untuk mencari jalan keluar.
b.        Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah apakah yang dimaksud dengan intelegensi, kapankah seseorang dikatakan berbuat intellegen, dan apa pula implementasinya dalam dunia pendidikan.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Intelegensi
Secara etimologi Intelegensi merupakan kata serapan yang didapatkan dari bahasa Inggris Intelligence dan Intelligence sendiri adalah terjemahan dari bahasa Latin yaitu intellectus dan intelligentia yang berarti kecerdasan, intelijen, atau keterangan-keterangan[3].Sedangkan dalam bahasa Indonesia sering diucapkan bahwa intélijen adalah orang yg bertugas mencari (meng-amat-amati) seseorang; dinas rahasia[4]. Sedangkan teori tentang intelegensi sendiri pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951, Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati[5]. Adapun dalam mengartikan intelegensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam.
Menurut  David Wechsler , intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Alferd Binet menyatakan intelegensi merupakan kemampuan yang diperoleh melalui keturunan, kemampuan yang diwariskan dan dimiliki sejak lahir dan tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam batas-batas tertentu lingkungan turut berperan dalam pembentukan kemampuan intelegensi. Kemudian menurut William Stern, intelegensi merupakan kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya. Menurut dia inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan keturunan. Pendapat ini diperkuat oleh seorang ahli bernama Prof. Weterink (Mahaguru di Amsterdam) yang berpendapat, belum dapat dibuktikan bahwa intelegensi dapat diperbaiki atau dilatih. David Wechsler berpendapat, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Howard Gardner mendefinisikan Inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kemampuan mental ataupun rohani yang melibatkan proses berpikir secara rasional untuk meyesuaikan diri kepada situasi yang baru. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik sebuah korelasi bahwa sesuatu perbuatan itu bisa disebut sebagai sebuah intelegen apabila:
1.      Masalah atau persoalan yang akan dipecahkan itu harus mempunyai suatu taraf kesukaran bagi subyek yang mengerjakannya.
2.      Perbuatan intelegen itu harus serasi tujuan dan ekonomis, yakni cara yang paling tepat, akurat, dan efisien untuk mencapai tujuan tersebut.
3.      Pemecahan persoalan yang intelegen sedikit banyak harus asli dan bukan mitasi dari yang telah ada.
4.      Perbuatan intelegen kerap kali menggunakan daya mengabstraksi.
5.      Perbuatan intelegen kerap kali memerlukan pengendalian perasaan.
6.      Perbuatan intelegen memerlukan pemusatan perhatian[6].
Sedangkan menurut pencipta pertama test intelegensi, Alfred Binet bahwa intelegensi itu meliputi fungsi sebagai berikut:
1.      Comprehension, yang menyanggupkan kita memahami situasi yang baru.
2.      Invention, yang memberikan kita suatu akal untuk membuka penyelesaian (solving).
3.      Direction, yang menentukan arah penyelesaian suatu masalah
4.      Censure, yang menolak hal-hal yang tidak berguna atau tidak bermanfaat.
Dr. Howard Gardner mengetengahkan 8 jenis kecerdasan, yaitu:
1.      Spesial-Visual
2.      Logis-Matematis
3.      Intrapersonal
4.      Musikal-Ritmik
5.      Naturalis
6.      Bodi Kinestetik
7.      Interpersonal
8.      Linguistik Verbal

B.     Faktor Penentu Intelegensi
Para ahli belum sepenuhnya sependapat mengenai faktor-faktor apa saja yang terdapat dalam inteligensi itu sendiri. Sebuah pendapat mengatakan bahwa faktor yang menentukan intelegensi seseorang antara lain :
1.      Pembawaan, yang ditentukan oleh sifat-sifat yang dibawa sejak lahir.
2.      Hereditas, yang diperoleh seorang anak melalui keturunan atau nasab.
3.      Kematangan, yang terutama ditentukan oleh umur.
4.      Pembentukan, yaitu perkembangan yang diperoleh anak karena pengaruh milieu (lingkungan).[7]
Selain itu, gejala-gejala jiwa dan fungsi-fungsi jiwa sangatlah mempengaruhi tindakan intelegen seseorang. Misalnya :
-          Pengamatan, yakni kalau seseorang berada dalam satu situasi yang harus mengambil tindakan yang intelegen maka dia harus memiliki fungsi pengamatan yang baik.
-          Tanggapan dan Daya Ingatan, yakni bahwa seseorang yang memiliki tanggapan daya ingatan yang baik akan lebih mudah untuk memecahkan persoalan.
-          Fantasi, yakni seseorang yang kaya fantasi akan dapat melihat lebih banyak kemungkinan pemecahan masalah yang tidak terlihat oleh orang lain.
-          Berfikir
-          Kehendak dan Perasaan
-          Perhatian, dan
-          Sugesti, yakni bahwa seseorang yang berbuat intelegen haruslah membebaskan diri dari pengaruh ataupun sugesti orang lain.[8]

C.    Pengukuran Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Seri tes dari Binet-Simon ini, pertamakali diberi nama : “Chelle Matrique de l’inteligence” atau skala pengukur kecerdasan. Tes binet-simon terdiri dari sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikelompok-kelompokkan menurut umur (untuk anak-anak umur 3-15 tahun). Pertanyaan-pertanyaaan itu sengaja dibuat mengenai segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Seperti mengulang kalimat-kalimat yang pendek atau panjang, mengulang eretan angka-angka, memperbandingkan berat timbangan, menceriterakan isi gambar-gambar, menyebutkan nama bermacam macam warna, menyebut harga mata uang, dan sebagainya.
Dengan tes semacam inilah usia seseorang diukur atau ditentukan. Dari hasil tes itu ternyata tidak tentu bahwa usia kecerdasan itu sama dengan usia sebenarnya (usia kalender). Sehingga dengan demikian kita dapat melihat adanya perbedaan-perbedaan IQ (Inteligentie Quotient) pada tiap-tiap orang/anak. Test ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS ( Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC ( Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.[9]
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

D.    Implementasi Intelegensi dalam dunia Pendidikan
Memang inteligensi seseorang memainkan peranan yang penting dalam dunia pendidikan. Akan tetapi pendidikan sangatlah kompleks, intelegensi bukan satu-satunya faktor yang menentukan sukses tidaknya pendidikan seseorang. Banyak lagi faktor yang lain, seperti faktor kesehatan dan ada tidaknya kesempatan. Orang yang sakit-sakitan saja meskipun intelegensinya tinggi dapat gagal dalam usaha mengembangkan dirinya dalam pendidikannya. Demikian pula meskipun cerdas jika tidak ada kesempatan mengembangkan dirirnya dapat gagal pula.
Juga watak (pribadi) seseorang sangat berpengaruh dan turut menentukan. Banyak di antara orang-orang yang sebenarnya memiliki intelejensi yang cukup tinggi, tetapi tidak mendapat kemajuan dalam kehidupannya. Ini disebabkan/karena misalnya, kekurangan-mampuan bergaul dengan orang-orang lain dalam masyarakat,atau kurang memiliki cita-cita yang tinggi, sehingga tidak/kurang adanya usaha untuk mencapainya.
Sebaliknya, ada pula seorang yang sebenarnya memiliki intelejensi yang sedang saja, dapat lebih maju dan mendapat kehidupan yang lebih layak berkat ketekunan dan keuletannya dan tidak banyak faktor-faktor yang menggagu atau yang merintanginya. Akan tetapi intelejensi yang rendah menghambat pula usaha seseorang untuk maju dan berkembang, meskipun orang itu ulet dan bertekun dalam usahanya. Sebagai kesimpulan dapat kita katakan: Kecerdasan atau intelegensi seseorang memberi kemungkinan bergerak dan berkembang dalam bidang pendidikan. Sampai di mana kemungkinan tadi dapat direalisasikan, tergantung pula kepada kehendak dan pribadi serta kesempatan yang ada.
Jelaslah sekarang bahwa tidak terdapat korelasi yang tetap antara tingkatan intelegensi dengan tingkat kehidupan seseorang. Namun perlu diperhatikan pula bahwa sebenarnya faktor intelegensi tidak bisa diremehkan atau dikesampingkan begitu saja, sebab sebagaimana disebutkan dalam sebuah syi’iran Arab yang mengatakan bahwa sebuah keilmuan itu tidak mungkin sempurna pencapaiannya kecuali dengan enam syarat yang salah satunya berupa adanya intelegensi.

BAB III
KESIMPULAN
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan intelegensi adalah suatu kemampuan mental ataupun rohani yang melibatkan proses berpikir secara rasional untuk meyesuaikan diri kepada situasi yang baru. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
Intelegensi sebagai sebuah kemampuan yang tertanam dalam diri masing-masing individu dapat ditumbuh kembangkan dengan berbagai cara agar dapat membantu sebagai daya berpikir yang ada dalam diri setiap individu manusia. Karena tanpa adanya intelegensi maka pendidikan hampir mustahil untuk dilaksanakan. Hal itu disebabkan karena Intelegensi membantu setiap individu untuk menemukan berbagai hal yang baru atau relevan dalam kehidupannya.


[1] Hurlock B Elizabeth, Developmental Psikologi; (Mc Grow Hill, Inc, 1980)hlm 2, Alih Bahasa, Istiwidayanti dan suedjarwo, Psikologi Perkembangan suatu pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta, Erlangga, tt.
[2] Cahyani Ani. Mubin, Psikologi perkembangan (Ciputat:Ciputat Press Group,2006).hlm 21-22
[3] Drs.Loekman Jayadi Kamus Lengkap 950 Juta (Surakarta:Nusantara,1985)hlm 159
[4] Software Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1 oleh www.ebsoft.web.id
[5] www.google.com / tentang intelegensi / blog oleh Bpk. Muhaimin / up date 16 juni 2011
[6] Drs.Moch. Ishom Achmadi ZE. Ya Ayyatuha An Nafsu A Muthmainnah (Yogyakarta:SJ Press,2009)hlm 91

[7] Drs.Moch. Ishom Achmadi ZE. Kaifa Nurabbi Abnaa ana (Jombang:Samsara Press,2007)hlm 83
[8] Drs.Moch. Ishom Achmadi ZE. Ya Ayyatuha An Nafsu A Muthmainnah (Yogyakarta:SJ Press,2009)hlm 94
[9] www.google.com / test intelegensi / blog oleh Ramzay Sadewa / up date 16 juni 2011

apakah anda puas dengan sistem pendidikan yang ada di universitas anda?

Powered By Blogger

Pengikut

About Me

Foto Saya
kependidikanislam2010
Lihat profil lengkapku