Rabu, 22 Juni 2011

ALIRAN MURJIAH

ALIRAN DALAM ISLAM PADA MASA KLASIK
ALIRAN MURJIAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid
Dosen pengampu  Dra. Wiji Hidayati
Oleh :
Rani Ristiyanti           (10471001)
============================================================
BAB I
PENDAHULUAN
Perbedaan pendapat antar satu orang dengan orang lain bukan merupakan hal
yang asing bagi umat manusia. Karena, perbedaan merupakan bakat alami yang
telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Sehingga, dengan adanya bakat alami
tersebut sangat wajar jika muncul ketidakserasian antara satu orang dengan orang
lain. Bahkan, meskipun hidup dalam kondisi sosial yang sama, watak serta pola
pikir setiap manusia belum tentu serasi. Kenyataan seperti inilah yang kemudian
menjadi sebuah alasan bagi terpecahnya umat beragama kedalam beberapa
kelompok.
Bibit-bibit perpecahan dalam islam sebenarnya mulai muncul sejak peristiwa politik yang dikenal dengan istilah peristiwa Saqifah Bani Sa'idah. Yakni,
peristiwa dikalangan muslimin tentang siapakah yang berhak menggantikan Nabi
sebagai kepala pemerintahan. Perbedaan politik yang terjadi pada waktu itu dapat
diatasi atas kebijakan Umar Ibn Khottob dengan membai'at Abu Bakar As-
Shiddiq sebagai kholifah pertama.
Konflik dalam umat islam muncul lagi ketika kursi kekholifahan dijabat oleh
Utsman Ibn 'Affan. Hal ini timbul sebagai reaksi dari sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap Utsman, karena beliau dituduh telah melakukan praktik
"nepotisme". Manuver politik yang dijalankan oleh Utsman ini membawa dampak
negative terhadap beliau sendiri. Para shohabat yang semula mendukung beliau
mulai meninggalkannya, dan yang paling parah adalah munculnya pemberontak
dari mesir yeng berkumpul di Madinah yang berujung pada terbunuhnya Kholifah
Utsman oleh pemuka-pemuka pemberontak tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Kata  murji’ah dari kata  arja’a yang bermakna menunda atau mengembalikan.[1] Ada pula pendapat lain mengatakan bahwa  kata murji’ah berarti memberi harapan, karena ajarannya memberi harapan kepada orang yang berbuat maksiat tidak merusak iman sebagai halnya dengan perbuatan ketaatan tidak memberi manfaat kekufuran. Ini berarti memberi harapan kepada orang-orang mukmin[2] yang melakukan dosa, bahwa mereka masih ada harapan pengampunan dari Allah Swt.[3]

B.     Latar belakang timbulnya aliran Murji’ah
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Utsman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan politik dikalangan umat Islam. Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan hak dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu.[4]

Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij.[5]

Murjiah mengartikan iman hanyalah kepercayaan hati belaka. Kewajiban agama, seperti shalat, puasa, dan lain-lain, bukanlah termasuk iman, dan iman tidak akan lenyap hanya lantaran seseorang berbuat dosa. Jadi, maksiat tidaklah berbahaya kalau tetap ada iman, dalam arti tidak akan membinasakan iman, bahkan tak memberi bekas terhadap keimanan seseorang. Dan suatu ketaatan yang tidak disertai iman hanyalah kesia-sian. [6]

Asal usul kemunculan aliran Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:
1.      Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni “Khawarij”. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak bertahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuata dosa besar yang lain[7].
Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi Thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.[8]
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.[9]
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.[10]

2.      Permasalahan KeTuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[11]
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.[12]

C.    Perbedaan pengikut aliran Murji’ah
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.

1.      Golongan Moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[13]
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: “iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman.”[14]
Dengan gambaran seperti ini, maka iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah ini dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting diperbandingkan dengan iman[15].

2.      Golongan Murji’ah Ekstrim
a.       Kelompok Al-Jahmiyah
Golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati.[16]

b.      Kelompok Ash-Shalihiyah
Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan dan kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.[17]

c.       Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah
Berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.[18]

d.      Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak  tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.[19]

D.    Ajaran-ajaran Murji’ah
Ajaran-ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati.
b.      Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimah syahadat.
c.       Hukum terhadap perbuatan manusia ditanggung hingga hari kiamat.[20]

E.     Tokoh-tokoh aliran Murji’ah
Pemimpin utama Murji’ah adalah Hasan bin Bilal al Muzi, Abu Sallat al samman, Dirrar bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan pengikut Murji’ah sehingga aliran ini terpecah menjadi beberapa sekte. Tokoh Murjia’ah Moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari Tuhan masih ada. Tokoh Murji’ah eksterm adalah Jahaf bin Shafwan. Berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukumkan kafir.






BAB III
PENUTUP
A.             KESIMPULAN
Kemunculan aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi dalam islam, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu, yang dimulai dari pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah merupakan aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam proses pertentangan yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang telah masuk pada permasalahan kafir mengkafirkan.
Dan dalam perkembangannya Murji’ah ikut memberikan tanggapan dalam permasalahan ketentuan Tuhan dalam menetapkan seseorang telah keluar Islam atau masih mukmin. Tipe pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Murji’ah adalah bahwa penentuan seseorang telah keluar dari Islam tidak bisa ditentukan oleh manusia tapi di tangguhkan sampai nanti di akhirat. Pembagian golongan Murji’ah dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah moderat dan golongan Murji’ah ekstrem.












DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi, Abul A’la. 2007. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Penerbit Kharisma. Penerjemah: Muhammad Al-baqir.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Matdawam, M. Noor. 1988. Akidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintasan Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Yogyakarta: Bina Karier.
Asmuni, H.M. Yusran. 1993. Ilmu Tauhid, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Idris, Taufiq H. 1980. Aliran Populer Dalam Theology Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu.


0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda puas dengan sistem pendidikan yang ada di universitas anda?

Powered By Blogger

Pengikut

About Me

Foto Saya
kependidikanislam2010
Lihat profil lengkapku