Kamis, 30 Juni 2011

Intelegensi versi ubed

BAB I
PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. seperti yang dikatakan Van den Daele[1] bahwa perkembangan adalah perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.
Perkembangan juga diartikan sebagai ”perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”. Perkembangan dapat diartikan menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis progresif, dan berkesinambungan”. Dan semua para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, namun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki.[2]
Hubungannya dengan inteligensi bahwa inteligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatui fiksi ilmiah untuk mendeskripsiskan prilaku induvidu yang berkaitan dengan kemampuan intelektualnya. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam.
Dibawah ini terdapat sebuah gambar berupa “taman bingung” dengan tanda X yang menunjukkan dimana kita akan memulai. Taruh ujung pensil pada tanda X tersebut dan cobalah secepat-cepatnya untuk mencari jalan keluar.
b.        Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah apakah yang dimaksud dengan intelegensi, kapankah seseorang dikatakan berbuat intellegen, dan apa pula implementasinya dalam dunia pendidikan.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Intelegensi
Secara etimologi Intelegensi merupakan kata serapan yang didapatkan dari bahasa Inggris Intelligence dan Intelligence sendiri adalah terjemahan dari bahasa Latin yaitu intellectus dan intelligentia yang berarti kecerdasan, intelijen, atau keterangan-keterangan[3].Sedangkan dalam bahasa Indonesia sering diucapkan bahwa intélijen adalah orang yg bertugas mencari (meng-amat-amati) seseorang; dinas rahasia[4]. Sedangkan teori tentang intelegensi sendiri pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951, Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati[5]. Adapun dalam mengartikan intelegensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam.
Menurut  David Wechsler , intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Alferd Binet menyatakan intelegensi merupakan kemampuan yang diperoleh melalui keturunan, kemampuan yang diwariskan dan dimiliki sejak lahir dan tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam batas-batas tertentu lingkungan turut berperan dalam pembentukan kemampuan intelegensi. Kemudian menurut William Stern, intelegensi merupakan kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya. Menurut dia inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan keturunan. Pendapat ini diperkuat oleh seorang ahli bernama Prof. Weterink (Mahaguru di Amsterdam) yang berpendapat, belum dapat dibuktikan bahwa intelegensi dapat diperbaiki atau dilatih. David Wechsler berpendapat, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Howard Gardner mendefinisikan Inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kemampuan mental ataupun rohani yang melibatkan proses berpikir secara rasional untuk meyesuaikan diri kepada situasi yang baru. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik sebuah korelasi bahwa sesuatu perbuatan itu bisa disebut sebagai sebuah intelegen apabila:
1.      Masalah atau persoalan yang akan dipecahkan itu harus mempunyai suatu taraf kesukaran bagi subyek yang mengerjakannya.
2.      Perbuatan intelegen itu harus serasi tujuan dan ekonomis, yakni cara yang paling tepat, akurat, dan efisien untuk mencapai tujuan tersebut.
3.      Pemecahan persoalan yang intelegen sedikit banyak harus asli dan bukan mitasi dari yang telah ada.
4.      Perbuatan intelegen kerap kali menggunakan daya mengabstraksi.
5.      Perbuatan intelegen kerap kali memerlukan pengendalian perasaan.
6.      Perbuatan intelegen memerlukan pemusatan perhatian[6].
Sedangkan menurut pencipta pertama test intelegensi, Alfred Binet bahwa intelegensi itu meliputi fungsi sebagai berikut:
1.      Comprehension, yang menyanggupkan kita memahami situasi yang baru.
2.      Invention, yang memberikan kita suatu akal untuk membuka penyelesaian (solving).
3.      Direction, yang menentukan arah penyelesaian suatu masalah
4.      Censure, yang menolak hal-hal yang tidak berguna atau tidak bermanfaat.
Dr. Howard Gardner mengetengahkan 8 jenis kecerdasan, yaitu:
1.      Spesial-Visual
2.      Logis-Matematis
3.      Intrapersonal
4.      Musikal-Ritmik
5.      Naturalis
6.      Bodi Kinestetik
7.      Interpersonal
8.      Linguistik Verbal

B.     Faktor Penentu Intelegensi
Para ahli belum sepenuhnya sependapat mengenai faktor-faktor apa saja yang terdapat dalam inteligensi itu sendiri. Sebuah pendapat mengatakan bahwa faktor yang menentukan intelegensi seseorang antara lain :
1.      Pembawaan, yang ditentukan oleh sifat-sifat yang dibawa sejak lahir.
2.      Hereditas, yang diperoleh seorang anak melalui keturunan atau nasab.
3.      Kematangan, yang terutama ditentukan oleh umur.
4.      Pembentukan, yaitu perkembangan yang diperoleh anak karena pengaruh milieu (lingkungan).[7]
Selain itu, gejala-gejala jiwa dan fungsi-fungsi jiwa sangatlah mempengaruhi tindakan intelegen seseorang. Misalnya :
-          Pengamatan, yakni kalau seseorang berada dalam satu situasi yang harus mengambil tindakan yang intelegen maka dia harus memiliki fungsi pengamatan yang baik.
-          Tanggapan dan Daya Ingatan, yakni bahwa seseorang yang memiliki tanggapan daya ingatan yang baik akan lebih mudah untuk memecahkan persoalan.
-          Fantasi, yakni seseorang yang kaya fantasi akan dapat melihat lebih banyak kemungkinan pemecahan masalah yang tidak terlihat oleh orang lain.
-          Berfikir
-          Kehendak dan Perasaan
-          Perhatian, dan
-          Sugesti, yakni bahwa seseorang yang berbuat intelegen haruslah membebaskan diri dari pengaruh ataupun sugesti orang lain.[8]

C.    Pengukuran Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Seri tes dari Binet-Simon ini, pertamakali diberi nama : “Chelle Matrique de l’inteligence” atau skala pengukur kecerdasan. Tes binet-simon terdiri dari sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikelompok-kelompokkan menurut umur (untuk anak-anak umur 3-15 tahun). Pertanyaan-pertanyaaan itu sengaja dibuat mengenai segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Seperti mengulang kalimat-kalimat yang pendek atau panjang, mengulang eretan angka-angka, memperbandingkan berat timbangan, menceriterakan isi gambar-gambar, menyebutkan nama bermacam macam warna, menyebut harga mata uang, dan sebagainya.
Dengan tes semacam inilah usia seseorang diukur atau ditentukan. Dari hasil tes itu ternyata tidak tentu bahwa usia kecerdasan itu sama dengan usia sebenarnya (usia kalender). Sehingga dengan demikian kita dapat melihat adanya perbedaan-perbedaan IQ (Inteligentie Quotient) pada tiap-tiap orang/anak. Test ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS ( Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC ( Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.[9]
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

D.    Implementasi Intelegensi dalam dunia Pendidikan
Memang inteligensi seseorang memainkan peranan yang penting dalam dunia pendidikan. Akan tetapi pendidikan sangatlah kompleks, intelegensi bukan satu-satunya faktor yang menentukan sukses tidaknya pendidikan seseorang. Banyak lagi faktor yang lain, seperti faktor kesehatan dan ada tidaknya kesempatan. Orang yang sakit-sakitan saja meskipun intelegensinya tinggi dapat gagal dalam usaha mengembangkan dirinya dalam pendidikannya. Demikian pula meskipun cerdas jika tidak ada kesempatan mengembangkan dirirnya dapat gagal pula.
Juga watak (pribadi) seseorang sangat berpengaruh dan turut menentukan. Banyak di antara orang-orang yang sebenarnya memiliki intelejensi yang cukup tinggi, tetapi tidak mendapat kemajuan dalam kehidupannya. Ini disebabkan/karena misalnya, kekurangan-mampuan bergaul dengan orang-orang lain dalam masyarakat,atau kurang memiliki cita-cita yang tinggi, sehingga tidak/kurang adanya usaha untuk mencapainya.
Sebaliknya, ada pula seorang yang sebenarnya memiliki intelejensi yang sedang saja, dapat lebih maju dan mendapat kehidupan yang lebih layak berkat ketekunan dan keuletannya dan tidak banyak faktor-faktor yang menggagu atau yang merintanginya. Akan tetapi intelejensi yang rendah menghambat pula usaha seseorang untuk maju dan berkembang, meskipun orang itu ulet dan bertekun dalam usahanya. Sebagai kesimpulan dapat kita katakan: Kecerdasan atau intelegensi seseorang memberi kemungkinan bergerak dan berkembang dalam bidang pendidikan. Sampai di mana kemungkinan tadi dapat direalisasikan, tergantung pula kepada kehendak dan pribadi serta kesempatan yang ada.
Jelaslah sekarang bahwa tidak terdapat korelasi yang tetap antara tingkatan intelegensi dengan tingkat kehidupan seseorang. Namun perlu diperhatikan pula bahwa sebenarnya faktor intelegensi tidak bisa diremehkan atau dikesampingkan begitu saja, sebab sebagaimana disebutkan dalam sebuah syi’iran Arab yang mengatakan bahwa sebuah keilmuan itu tidak mungkin sempurna pencapaiannya kecuali dengan enam syarat yang salah satunya berupa adanya intelegensi.

BAB III
KESIMPULAN
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan intelegensi adalah suatu kemampuan mental ataupun rohani yang melibatkan proses berpikir secara rasional untuk meyesuaikan diri kepada situasi yang baru. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
Intelegensi sebagai sebuah kemampuan yang tertanam dalam diri masing-masing individu dapat ditumbuh kembangkan dengan berbagai cara agar dapat membantu sebagai daya berpikir yang ada dalam diri setiap individu manusia. Karena tanpa adanya intelegensi maka pendidikan hampir mustahil untuk dilaksanakan. Hal itu disebabkan karena Intelegensi membantu setiap individu untuk menemukan berbagai hal yang baru atau relevan dalam kehidupannya.


[1] Hurlock B Elizabeth, Developmental Psikologi; (Mc Grow Hill, Inc, 1980)hlm 2, Alih Bahasa, Istiwidayanti dan suedjarwo, Psikologi Perkembangan suatu pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta, Erlangga, tt.
[2] Cahyani Ani. Mubin, Psikologi perkembangan (Ciputat:Ciputat Press Group,2006).hlm 21-22
[3] Drs.Loekman Jayadi Kamus Lengkap 950 Juta (Surakarta:Nusantara,1985)hlm 159
[4] Software Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1 oleh www.ebsoft.web.id
[5] www.google.com / tentang intelegensi / blog oleh Bpk. Muhaimin / up date 16 juni 2011
[6] Drs.Moch. Ishom Achmadi ZE. Ya Ayyatuha An Nafsu A Muthmainnah (Yogyakarta:SJ Press,2009)hlm 91

[7] Drs.Moch. Ishom Achmadi ZE. Kaifa Nurabbi Abnaa ana (Jombang:Samsara Press,2007)hlm 83
[8] Drs.Moch. Ishom Achmadi ZE. Ya Ayyatuha An Nafsu A Muthmainnah (Yogyakarta:SJ Press,2009)hlm 94
[9] www.google.com / test intelegensi / blog oleh Ramzay Sadewa / up date 16 juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda puas dengan sistem pendidikan yang ada di universitas anda?

Powered By Blogger

Pengikut

About Me

Foto Saya
kependidikanislam2010
Lihat profil lengkapku